Titik di Akhir Kalimat
Oleh : Rahma Khusniawati
Angin semilir
menerbangkan dedaunan kering dari sebuah pohon beringin tua di depan sebuah
rumah sakit umum. Begitu besar dan rimbun pohon itu. Namun sayang, pohon yang
begitu kokoh, ranting yang kuat kini telah rapuh, dan ranting telah patah
termakan usia. Setiap hari daun-daun kering sealu berguguran. Seperti halnya
penghuni kamar rumah sakit itu. Kamar nomor 21 kelas VIP itu, ditempati seorang
pemuda tampan yang dahulu begitu ceria, dikenal sebagai seorang yang santun,
dan juga diberkahi otak yang jenius, sehinga berbagai kejuaraan olimpiade sains
berhasil dia tundukkan. Tetapi itu dulu, sebalum sebuah penyakit kanker
menggerogoti kesehatannya. Dia hanya bertekad dengan kekurangannya sekarang,
dia ingin mempersembahkan sesuatu pada orang-orang yang dia sayangi dan
orang-orang yang menyayanginya sehingga namanya slalu melekat di hati mereka.
Dialah Mada, seorang anak tunggal yang berjuang dari penyakitnya. Semkin lama
penyakitnya mulai parah. Sudah sebulaan ini penyakitnya sering kambuh. Dan
sudah satu minggu Mada harus di rawat di rumah sakit.
“Hay, Mada.”
Seru Anton saat melihat Mada yang sedang berjalan di pelataran sekolah yang
hendak menuju kelas.
“Eh.. Anton, ada
apa?”
“Tidak ada
apa-apa sih, cuma kangen aja sama kamu.”
“Kangen apa
kangen? Kemarin kan juga sudah sering ketemu di rumah sakit. Bilang aja selama
aku tidak masuk kamu bingung kan mau nyontek siapa kalau lagi ulangan?” Jawab
Mada sambil terkekeh pelan.
“Hahahaha.. kok
tahu aja sih kamu? Keturunan paranormal ya? Awas, efek keseringan belajar tuh.”
“Iya kali, ya!
Tapi, yang enak kan kamu juga kalau aku pintar, hayo!” jawab Mada meninju
lengan Anton.
“Ya iyalah! Masa
ada sahabat yang pintar harus di sai-siakan? Percuma dong.”
“Sialan kamu,
Ton! Cepetan Ton, hampir bel masuk.”
Itulah mereka,
persahabatan yang saling melengkapi. Walaupun secara fisik, kepandaian, dan
kepribadian mereka yang berbeda, mereka tetap saling melengkapi satu sama lain.
Anton di kenal sebagai anak yang urakan dan jahil itu berbanding terbalik
dengan Mada yang selalu rapi dan ramah. Tetapi itulah pertemanan mereka, di
dasari dari perbedaan yang akhirnya membuat mereka saling melengkapi satu sama
lain. Anton adalah teman sebangku Mada. Dari kelas X mereka satu kelas. Sampai
sekarang di kelas XII mereka satu kelas. Akhirnya mereka berdua memilih untuk
duduk di satu bangku.persahabataan mereka terjalin ketika Papa Anton meninggal
dunia. Saat itu hanya Madalah satu-satunya dari sahabat Anton yang selalu
menghibur dirinya hingga dia berhasil bangkit dari keterpurukan ditinggal pergi
Papanya. Anton juga tahu semua rahasia Mada. Rahasia tentang penyakit Mada
selama ini. Alasan itulah yang membuat Anton selalu ada disaat temannya itu
membutuhkannya. Disaat Mada harus terbaring sakit di rumah sakitpun Anton
selalu menyempatkan waktunya untuk menjenguk Mada. Sampai orang tua Mada sudah
menganggap Anton sebagai anak mereka sendiri.
“Ssssttt..
Mada” Bisik Anton pada saat pelajaran
matematika berlangsung.
“Apa?” Jawab
Mada jugga berbisik.
“Aku bosan nih!”
“Halah, bukannya
setiap hari kamu bosan dengan pelajaran yang ada?”
“Heheheh.. iya
sih.” Jawab Anton dengan cengirannya.
Tiba-tiba..
“Anton, Mada,
apa yang kalian bicarakan? Cepat maju kedepan dan kerjakan lks halaman 46 nomor
3 untuk Mada dan 4 untuk Anton.!”
“i..iya, Bu?”
jawab mereka bersamaan dengan terbata-bata dan segera maju ke depan untuk
mengerjakan soal.
Untungnya Mada
telah mengerjakan semua soal yang ada di lks halaman 46 itu. Sehingga dia tidak
merasa kesulitan untuk megerjakaan soal-soal itu. Dan bukunyapun juga dia
pinjamkan pada Anton untuk menjawab soal yang di tunjuk oleh Pak Kasim guru
matematika itu untuk Anton.
Bel tanda
istirahatpun berbuunyi. Dua orang pemuda itu segera pergi ke kantin. Dan
kebiasaan mereka berdua, mereka selalu membawa makanan yang mereka beli untuk
di makan di taman sekolah, di bawah pohon yang rimbun. Alasan mereka selalu ke
sana karena di bawah pohon itu sangat teduh dan ada angin yang berhembus
membuat mereka sejenak merelakskan pikiran mereka setelah pembelajaran di
kelas.
“Mada.” Panggil
Anton yang ada di samping Mada.
“Hmmm.. ada
apa?”
“Bagaiamana
dengan kesehatanmu hari ini?”
“Cukup baik.
Memang ada apa, Ton”
“Tidak, aku
hanya khawatir saja denganmu. Sudah sebulan ini penyakitmu sering kambuh. Apa
itu berarti peyakitmu semakin parah?”
“Sudahlah Anton,
aku tida apa-apa kok. Tenang saja.”
“Tapi aku ini
sahabatmu, Mada. Aku berhak khawatir atas semua ini. Aku tak mau kehilangan
sahabat sepertimu.”
Mendengar
jawaban temannya itu, membuat Mada terharu. Mada tahu, walaupun Anton itu
adalah anak yang sangat jahil dan urakan, tetapi sebenarnya Anton adalah anak
yang baik. Air mata Mada mengalir. Sebenarnya waktu Mada di dunia ini telah
difonis dokter tinggal sebentar. Tapi dia belum bisa menceritakannya pada
Anton. Dia takut kalau berita ini akan membuat Anton sedih. Sudah cukup
pengorbanan Anton untuknya selama ini. Pengorbanan waktu dan tenaga yang Anton
berikan, menurut Mada sudah cukup. Mada hanya tidak ingin merepotkan sahabatnya
itu lagi di saat-saat terakhirnya.
“Kenapa kamu
malah menangis? Apa yang membebani pikiranmu? Ceritakan saja, aku siap
mendengarnya.”
“Tidak, aku
tidak apa-apa. Hehehe..” jawab Mada sambil mengusap air matanya.
“Kenapa tidak
mau cerita? Aku ini sahabatmu, Mada.” Anton sedikit meninggikan suaranya.
Hening, Mada
tidak menjawab lagi pertanyaan dari Anton. Dia tarik nafas dalam-dalam dan
mengeluarkannya secara perlahan. Dia mengulangi hal yang sama sampai dia merasa
tenang.
“Anton,
terimakasih untuk semuanya. Mungkin selama ini aku sudah banyak merepotkanmu.
Menyita waktumu dan menguras tenagamu. Mungkin hanya kata terimakasih yang bisa
aku katakan padamu. Aku tak bisa membalas semua kebaikanmu selama ini selain
dengan kata terimakasih.” Air mata Mada mulai menetes lagi.
“Kamu ngomomg
apa, Mada? Aku ini sahabatmu, sudah sepantasnya aku melakukan ini untuk
sahabatku. Kamu orang yang baik dan sahabat yang sangat baik bagiku. Kamu sudah
aku anggap sebagai saudaraku sendiri. Jadi berhentilah berpikir seperti itu.
Aku ikhlas melakukan ini semua.”
“Terimakasih
Anton.” Ucap Mada sambil memeluk sahabat baiknya itu.
“Sudahlah, ayo
segera kita masuk ke kelas.” Ajak Anton sambil merangkul Mada menuju kelas.
Sampai di kelas,
mereka mengikuti pelajaran sampai selesai sampai bel tanda pelajaran
berakhirpun dikumandangkan. Namun ada kejanggalan-kejanggalan yang membuat
Anton khawatir dengan Mada. Setelah dia duduk di bangku sehabis istirahat,
hidung Mada mimisan terus menerus, sampai tadi Anton meminta kapas ke UKS.
Anton sudah berniat untuk mengantar Mada pulang. Tetapi Mada bersikukuh untuk
melanjutkan pelajaran hingga selesai. Anton sangat khawatir dengan kesehatan
Mada.
Anton dan Mada
memasukkan buku-buku mereka ke alam tas dan bergegas untuk pulang. Karena Mada
membawa motor sendiri, Anton berniat untuk mengiringi Mada sampai rumah. Dia
takut terjadi apa-apa dengan sahabatnya itu. Karena sampai sekarang hidung Mada
belum habis-habisnya mengeluarkan darah.
Alhasil setelah
sampai di parkiran, tubuh Mada serasa lemas, pandangannya mulai mengabur, dan
suara yang terdengar di kupingnya semakin melemah. Yang terakhir dia dengar
adalah suara sahabat terbaiknya yang menyebut namanya. Sekarang yang Mada
rasakan adalah hampa. Tubuhnya terasa sangat ringan sekali. Yang ada hanyalah
kabut berwarna kuning. Tak ada tumbuhan, tak ada binatang, dia bingung mau
kemana. Dia ingin menemui sahabat terbaiknya. Mada ingin megucapkan kata
perpisahan atau kata terakhirnya jika ini sudah waktunya dia harus kembali pada
sang pencipta. Dia juga tak mau melihat orang tuanya sedih melihatnya pergi
untuk selama-lamanya. Hanya kata terakhir yang Mada ingin ucapkan pada orang
tuanya dan sahabat terbaiknya untuk sekedar berpamitan. Tiba-tiba Mada
mendengar suara isak tangis seseorang. Mada mencermati suara siapa gerangan yang
sedang menangis itu. Semakin lama suara itu semakin jelas. Dia mulai mengenali
suara itu. Suara tangis itu adalah suara mamanya.
Kemudian seperti
ada kilatan cahaya yang menerpa Mada. Mada mulai menggerakkan kedua matanya.
Dia merasakan tubuhnya sakit semua. Selang infus sudah terpasang di tangannya.
Dan selang oksige telah menempel di hidungnya. Dia merasakan sakit yang teramat
sangat di kepalanya. Dia melihat mamanya menangis di sisi ranjangnya. Dan dia
melihat papanya sedang menenagkan mamanya. Ternyata sekarang dia sudah berada
di rumah sakit. Mamanya terkejut melihat
Mada yang mulai sadar. Dia segera menyuruh suaminya untuk memanggil
dokter
“Ma, Mada haus.”
Itulah kata pertama yang diucap Mada setelah melewati masa komanya.
“Mada, kamu
sudah siuman, Nak. Ini minum pelan-pelan.” Jaawab mama Mada yang terkejut
dengan Mada yang sudah siuman sambil menyodorkan sedotan ke mulut Mada untuk
minum.
“Mama kenapa
nangis? Sudahlah, mama tidak usah bersedih. Semuanya sudah di atur sama Yang
Maha Kuasa. Jika harus terjadi, maka akan terjadi.”
“Mama dan papa
khawatir Mada. Mama takut akan kehilanganmu.” Jawab mamanya sambil menangis.
“Kenapa harus
takut, Ma? Semuanya juga pasti akan kembali kepada-Nya. Mada sudah siap jika
Mada harus pergi tuk selamanya. Yang Mada ingin setelah Mada pergi nanti, tak
ada kesedihan lagi. Mada tidak ingin mama dan papa sedih ketika Mada pergi.
Sekarang hapus air mata mama.” Mada berbicara setengah terbata-bata karena
penyakitnya semakin menggerogotinya.
Kemudian papanya
datang bersama dokter untuk memeriksa keadaan Mada. Seseorang berbaju putih itu
segera memeriksa keadaan Mada.
“Mada, apa yang
kamu rasakan sekarang?” Ucap dokter
“Badan saya
rasanya sakit semua, Dok.”
“Itu sudah wajar
Mada. Kamu habis melewati masa koma. Sekarang saya berikan obat penghilang rasa
nyeri terlebih dahulu. Nanti malam saya akan memeriksa keadanmu lagi. Saya
pergi dulu ya. Istirahatlah terlebih dahulu”
Mada yang sudah
merasa sudah tidak kuat lagi dengan penyakitnya, dia ingin mengucapkan kata
perpisahan paada orang-orang yang dia sayangi. Mada takut bila tak sempat untuk
mengatakannya.
“Anton mana, Ma?
Mada ingin berbicara dengannya. Mada takut tak bisa lagi berbicara lagi
dengannya. Mungkin ini akan jadi yang terakhir.”
“Jangan
berbicara seperti itu, Mada. Anton ada di luar. Papa akan panggilkan dia.”
Jawab papannya
Papa Mada segera
menemui Anton yang berada di luar dan membawanya untuk segera menemui Mada.
Mama Mada semakin sedih dan menangis mendengar kalimat yang Mada ucapkan.
Antonpun juga begitu. Cairan bening mulai mengalir di pipi Anton. Bagaimanapun,
Mada adalah sahabatnya. Anton juga takut akaan kehilangan Mada sahabat
terbaiknya. Anton menggengggam tangan sahabaatnya.
“Anton, maafkan
aku. Uhuuk.. Maafkan aku jika selama ini telah banyak merepotkanmu. Terimakasih
atas semuanya, kamu sudah banyak membantuku. Mungkin ini kata-kata terakhirku.
Untuk mama dan papa, Mada minta kalian tadak usah bersedih atas kepergianku.
Bukankah semua yang hidup akan mengalami mati? Mungkin ini sudah takdir Mada.
Mada akan lebih tenang jika melihat papa, mama, dan Anton mengikhlaskan
kepergian Mada. Mada sangat sayang kalian. Te..rima..ka..sih.” Ucap Mada
perlahan dengan terbata-bata dan suaranya semakin menghilang
“Mada!” seru
Mama, Papa Mada dan juga Anton bersmaan
Genggaman tangan
Mada di tangan Anton perlahan mulai melemas. Tepat pukul 10.15 hari Jum’at
tanggal 13 tahun 2012 Mada menghembuskan nafas terakhir. Mama dan Papa Mada menangis atas kepergian
Mada, bagitupun dengan Anton. Dia sangat merasa kehilangan sahabat terbaiknya.
Sebenarnya Anton seseorang yang kuat, baru kali ini dia menangis setelah
perihal papanya meninggal dua tahun lalu.
“Sudahlah, Ma!
Bukankah Mada sudah berpesan, dia akan lebih tenang jika kita tidak sedih saat
kepergiannya. Ikhlaskan, Ma!” Ucap Papa Mada menenagkan istrinya.
“Iya, Pa.
Terimakasih sudah mengingatkan mama.”
“Anton,
terimakasih karena selama ini kamu sudah ikut menjaga dan membantu Mada.” Mama
Mada berbicara paada Anton
“Iya Tante,
sudah seharusnya Anton melakukan hal itu. Karena Mada adalah sahabat Anton dan
Anton sudah menganggap Mada sebagai saudara Anton sendiri, Tante.”
Hujan rintik mengiringi pemakamaan. Kembang mulai di
taburkan di makam yang basah. Orang-orang berbaju hitaam satu persatu
meninggalkan pemakaman. Meninggalkan Mama, Papa Mada dan juga Anton. Walaupun
mereka sudah ikhlas dengan kepergian Mada, tetapi wajah sendu tetap menghiasi
wajah mereka.
“Anton, walaupun
kini Mada sudah tak ada, tetaplah berkunjung ke rumah Om dan Tante. Janganlah
sungkan, anggap saja rumah sendiri seperti saat Mada masih hidup.” Ucap Papa
Mada memulai pembicaraan.
“Iya, Om. Anton
sesekali akan berkunjung. Dan terimakasih atas semuanya, om dan tante seperti
orang tua kedua bagi Anton.”
“Apa kamu masih
ingin di sini, Anton?”
“Iya, Om. Anton
masih ingin di sini.”
“Yasudah, Om dan
Tante plang dulu.”
“Iya.”
Mobil Mama dan
Papa Mada sudah meninggalkan area pemakamaan. Menyisakan Anton yang masih
bersimpuh di makam Mada. Air matanya menggenang menganak sugai membasahi
pipinya. Bagaimannapun juga dia tetap merasa sedih, walaupun sebenarnya dia
sudah ikhlas dengan kepergian Mada. Dia merasa kehilangan sahabat
terbaiknya. Anton takut tak akan
menemukan sahabat seperti Mada. Anton mengingat masa-masa dulu saat kepergian
papanya, Madalah yang mnghibur Anton hingga dia melupakan kesedihannya. Mada
selalu ada saat Anton membutuhkannya. Dan Madalah yang membantu Anton dalam hal
pelajaran.
Banyak kenangan
manis yang telah tercipta diantara persahabatan mereka. Suka duka mereka lalui
bersama dalam persahabatan. Kini hanya tinggallah kenangan, yamg akan terus
diingat, dan tak akan pernah dilupakan. Inilah akhir sebuah cerita persahabatan
yang akan terus terkenang. Kisah persahabatan yang sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar