Minggu, 05 Maret 2017

CERPEN 1


INTAN
(oleh: Rahma Khusniawati)
Gemercik air hujan masih membasahi dedaunan. Kicauan camar terdengar samar-samar. Namun, sang mentari tetap setia bersinar. Menemani langkah kaki setiap insan dalam menjalani kehidupan.
Pagi ini hati Intan secarah awan. Inilah hari yang yang ditunggu-tunggunya semenjak ia harus terbang meninggalkan Kota Batam, berpisah dari teman-temannya dan menyisakan sejuta kenangan tak terlupakan.
Tuntutan profesi Papa Intan, membuat ia dan keluarganya harus menetap di Pacitan. Sebuah kota kecil yang jauh dari keramaian. Kini ia tinggal di rumah Eyang bersama kedua orang tuanya dan seorang adik bernama Rafa.
“Intan, cepat sedikit, Nak!” kata Mama dari luar kamar Intan.
“Astagfirullah!” ucap Intan yang baru saja tersadar dari lamunannya.
“Sudah sana berangkat! Lihat, kumis Papa semakin panjang gara-gara kamu!” gurau Mama yang membuat Intan terpaksa menahan tawa.
“Eyang, Mama, Intan berangkat dulu ya.” pamit Intan sembari mencium tangan Eyang dan Mama.
Ruas jalan Pacitan yang masih lengang membuat mobil melaju tanpa hambatan. Dari atas jembatan, Intan melihat sungai dengan arusnya yang tenang. Udara yang segar berpadu dengan rimbunnya pepohonan di tepi jalan membuat Intan kagum dengan kota barunya. Hingga ia tidak menyadari bahwa ia telah berhenti di depan bangunan yang bertuliskan SMA Negeri 1 Pacitan.
“Intan, turun, Nak! Kita sudah sampai.” kata Papa.
Langkah Intan berayun riang saat memasuki sekolah idaman di Pacitan. Ia menuju ruang Tata Usaha. Dengan berbagai pertimbangan dan tes serta administrasi yang sudah diselesaikan, Intan pun ditempatkan di kelas X Mipa 1. Seorang guru kesenian mengantarnya ke kelas tersebut yang letaknya di Gedung D, selatan lapangan tengah.
Jantung Intan serasa dilalui kawanan kuda perang ketika ayunan langkahnya terhenti di depan papan putih yang penuh coretan. Melihat kedatangan Intan, tak satupun senyuman merekah dari bibir teman-teman barunya. Yang terlihat hanyalah wajah sadis dan tatapan sinis. Hati Intan mulai tergoncang, tubuhnya gemetar. Namun, ia tutupi dengan senyum harapan. Dicobanya untuk menabur benih keyakinan dalam-dalam dengan memperkenalkan dirinya dengan santai. Intan pun dipersilakan duduk sendirian di bangku paling belakang.
“Hai, aku Intan!” tanya Intan kepada dua orang siswa yang duduk di depannya seraya mengulurkan tangan.
“Aku Cahaya. Ini Vania.” jawab seorang gadis berambut pirang tanpa membalas uluran tangan Intan.
Intan pun tetap berusaha merekahkan senyum termanisnya walau terasa sangat berat.
“Hai, Vania! Apakah aku boleh meminjam jadwal pelajaranmu?” tanya Intan penuh harapan.
“Kamu nggak lihat ya kalau aku lagi sibuk! Lagipula di depan itu sudah ada papan data kelas! Lihat saja di sana!” bentak Vania yang sebenarnya tidak ingin diganggu.
Intan pun segera ke depan dan mencatat jadwal pelajaran dengan perasaan yang berantakan dan kembali duduk di tempatnya. Tubuhnya lemah, angannya lelah, hatinya gundah dan gelisah. Namun, ia berusaha untuk tetap tabah. Mencoba tetap tersenyum. Ia duduk termenung. Berusaha agar air matanya terbendung.
Di bangku paling depan, terlihat teman-temannya dalam kesibukan. Mereka tampak serius membicarakan sesuatu. Intan pun mengusap air matanya. Mencoba mengumpulkan segenap keberanian untuk mendekati mereka.
“Aku pasti bisa!” gumam Intan dalam hati seraya berjalan dengan langkah penuh ketakutan.
 “Hai, teman-teman! Apa yang sedang kalian bicarakan? Bolehkah aku ikut bergabung?” tanya Intan pada teman-teman barunya dengan penuh harap.
“Kami sedang merancang baju kelas.” jawab Digo ketua kelas X MIPA 1 tanpa memancarkan ekspresi apapun.
“Wah, kebetulan aku juga sangat senang merancang baju. Dulu aku juga ikut merancang baju kelasku.” kata Intan bersemangat.
Ia yakin teman-temannya akan menyukainya. Ia memberikan banyak saran, pendapat dan bicara panjang lebar tentang rancangan tersebut. Karena terlalu bersemangat, ia tak menyadari bahwa banyak teman-temannya yang juga ingin berpendapat. Namum selalu ia potong dan berkata bahwa itu kurang cocok untuk rancangan tersebut.
“Cukup!” bentak Elia.
Suara itu bagaikan petir yang menyambar hati Intan. Seketika ia menghentikan bicaranya. Ia melihat sorotan mata kesal di setiap bola mata teman-temannya.
“Siapa kamu! Kamu ini bukan anggota kelas kami! Kamu sama sekali tidak punyak hak untuk ikut merancang baju kami! Baru sehari saja sudah belagu! Dasar mulut besar!” kata Elia sangat marah.
“Kamu juga seenaknya memotong pendapatku! Kamu pikir kamu itu siapa!” ucap Auri sambil mendorong Intan sampai terjatuh.
“Sudah! Sudah!” kata Aji yang berusaha menghentikan pertikaian sepihak itu.
Intan berlari menuju tempat duduknya. Ia tak menyangka semua akan seperti ini. Kawanan kuda perang yang semula hanya melewati jantungnya, kini telah menginjak dan memporak-porandakannya. Hatinya pilu, angannya layu, bibirnya membisu. Terlalu bersemangat membuat teman-temannya marah dan kesal. Apalagi sifatnya yang cenderung memaksakan kehendak. Kini ia hanya bisa menyesali semuanya.
“Jangan diambil hati ya perkataan mereka tadi.” tutur lembut Diar sedikit mengejutkan Intan.
Diar segera duduk di sebelah Intan. Ia tampak ramah dan senyumnya membuat Intan merasa lebih tenang. Lalu ia memperkenalkan diri kepada Intan. Seketika senyum Intan merekah dari bibirnya. Ia sangat senang karena masih ada yang mau mendekatinya. Diar pun meminta Intan untuk menceritakan segala kegelisahannya.
“Sabar ya, orang sabar itu disayang Tuhan.” kata Diar setelah mendengar curahan hati Intan.
Tangan Diar lalu mengelus bahu Intan dengan lembut. Ia juga merangkul Intan. Mereka berdua terlihat seperti sahabat karib. Kamudian Diar mengajak Intan pergi ke kantin. Diar tersenyum. Namun, Intan tak menyadari senyuman Diar yang berbeda. Saat berjalan ke kantin, Intan kebingungan melihat sikap siswa-siswa lain. Mereka semua menertawakan Intan. Ketika ia melewati Ruang BK, seorang guru benama Bu Endah Purnami memanggilnya.
“Ada apa, Bu?” tanya Intan penasaran.
“Kertas apa yang menempel di punggungmu?” jawab Bu Endah yang justru balik bertanya.
Ternyata di punggung Intan terdapat selembar kertas bertuliskan
“AKU MASIH LIAR!
MAKLUM BARU KELUAR DARI RANGUNAN!”
Ia sama sekali tidak menyangka. Dilihatnya Diar yang berdiri di sebelahnya. Tetapi, ia tak ingin berburuk sangka. Bu Endah pun meminta Intan dan seluruh siswa kelas X MIPA 1 berkumpul di Ruang BK.
“Siapa yang menempelkan kertas ini di punggung Intan?” tanya Bu Endah seraya menunjukkan kertas tersebut.
“Saya, Bu.” jawab Diar pasti.
“Kami semua yang menyuruh Diar, Bu!” kata Elia mewakili teman-temannya.
“Apa maksud kalian? Apa salahku pada kalian? Mengapa kalian memperlakukanku seperti ini? Dan kamu Diar, aku sudah menganggapmu seperti sahabatku, tapi mengapa kamu melakukan semua ini?” ucap Intan terisak.
“Kami tidak menginginkan kehadiranmu di kelas kami. Dasar anak belagu!” kata Elia sambil menunjuk Intan.
“Kalian tidak boleh bersikap seperti ini. Intan adalah teman baru kalian. Seharusnya kalian bersikap baik padanya.” kata Bu Endah mencoba menasihati.
Intan mulai meneteskan air mata. Sedangkan teman-temannya tampak sinis dan tidak peduli. Sementara itu, tampak sepasang mata yang mengamati suasana ruang BK dari balik tirai jendela. Sepasang mata yang terus memandang Intan.

* The End *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar