INTAN
(oleh: Rahma Khusniawati)
(oleh: Rahma Khusniawati)
Gemercik
air hujan masih membasahi dedaunan. Kicauan camar terdengar samar-samar. Namun,
sang mentari tetap setia bersinar. Menemani langkah kaki setiap insan dalam
menjalani kehidupan.
Pagi
ini hati Intan secarah awan. Inilah hari yang yang ditunggu-tunggunya semenjak
ia harus terbang meninggalkan Kota Batam, berpisah dari teman-temannya dan
menyisakan sejuta kenangan tak terlupakan.
Tuntutan
profesi Papa Intan, membuat ia dan keluarganya harus menetap di Pacitan. Sebuah
kota kecil yang jauh dari keramaian. Kini ia tinggal di rumah Eyang bersama
kedua orang tuanya dan seorang adik bernama Rafa.
“Intan,
cepat sedikit, Nak!” kata Mama dari luar kamar Intan.
“Astagfirullah!”
ucap Intan yang baru saja tersadar dari lamunannya.
“Sudah
sana berangkat! Lihat, kumis Papa semakin panjang gara-gara kamu!” gurau Mama
yang membuat Intan terpaksa menahan tawa.
“Eyang,
Mama, Intan berangkat dulu ya.” pamit Intan sembari mencium tangan Eyang dan
Mama.
Ruas
jalan Pacitan yang masih lengang membuat mobil melaju tanpa hambatan. Dari atas
jembatan, Intan melihat sungai dengan arusnya yang tenang. Udara yang segar
berpadu dengan rimbunnya pepohonan di tepi jalan membuat Intan kagum dengan
kota barunya. Hingga ia tidak menyadari bahwa ia telah berhenti di depan
bangunan yang bertuliskan SMA Negeri 1 Pacitan.
“Intan,
turun, Nak! Kita sudah sampai.” kata Papa.
Langkah
Intan berayun riang saat memasuki sekolah idaman di Pacitan. Ia menuju ruang
Tata Usaha. Dengan berbagai pertimbangan dan tes serta administrasi yang sudah
diselesaikan, Intan pun ditempatkan di kelas X Mipa 1. Seorang guru kesenian
mengantarnya ke kelas tersebut yang letaknya di Gedung D, selatan lapangan
tengah.
Jantung
Intan serasa dilalui kawanan kuda perang ketika ayunan langkahnya terhenti di
depan papan putih yang penuh coretan. Melihat kedatangan Intan, tak satupun
senyuman merekah dari bibir teman-teman barunya. Yang terlihat hanyalah wajah
sadis dan tatapan sinis. Hati Intan mulai tergoncang, tubuhnya gemetar. Namun, ia
tutupi dengan senyum harapan. Dicobanya untuk menabur benih keyakinan
dalam-dalam dengan memperkenalkan dirinya dengan santai. Intan pun dipersilakan
duduk sendirian di bangku paling belakang.
“Hai,
aku Intan!” tanya Intan kepada dua orang siswa yang duduk di depannya seraya
mengulurkan tangan.
“Aku
Cahaya. Ini Vania.” jawab seorang gadis berambut pirang tanpa membalas uluran
tangan Intan.
Intan
pun tetap berusaha merekahkan senyum termanisnya walau terasa sangat berat.
“Hai,
Vania! Apakah aku boleh meminjam jadwal pelajaranmu?” tanya Intan penuh
harapan.
“Kamu
nggak lihat ya kalau aku lagi sibuk! Lagipula di depan itu sudah ada papan data
kelas! Lihat saja di sana!” bentak Vania yang sebenarnya tidak ingin diganggu.
Intan
pun segera ke depan dan mencatat jadwal pelajaran dengan perasaan yang
berantakan dan kembali duduk di tempatnya. Tubuhnya lemah, angannya lelah,
hatinya gundah dan gelisah. Namun, ia berusaha untuk tetap tabah. Mencoba tetap
tersenyum. Ia duduk termenung. Berusaha agar air matanya terbendung.
Di
bangku paling depan, terlihat teman-temannya dalam kesibukan. Mereka tampak
serius membicarakan sesuatu. Intan pun mengusap air matanya. Mencoba
mengumpulkan segenap keberanian untuk mendekati mereka.
“Aku
pasti bisa!” gumam Intan dalam hati seraya berjalan dengan langkah penuh
ketakutan.
“Hai, teman-teman! Apa yang sedang kalian
bicarakan? Bolehkah aku ikut bergabung?” tanya Intan pada teman-teman barunya
dengan penuh harap.
“Kami
sedang merancang baju kelas.” jawab Digo ketua kelas X MIPA 1 tanpa memancarkan
ekspresi apapun.
“Wah,
kebetulan aku juga sangat senang merancang baju. Dulu aku juga ikut merancang
baju kelasku.” kata Intan bersemangat.
Ia
yakin teman-temannya akan menyukainya. Ia memberikan banyak saran, pendapat dan
bicara panjang lebar tentang rancangan tersebut. Karena terlalu bersemangat, ia
tak menyadari bahwa banyak teman-temannya yang juga ingin berpendapat. Namum
selalu ia potong dan berkata bahwa itu kurang cocok untuk rancangan tersebut.
“Cukup!”
bentak Elia.
Suara
itu bagaikan petir yang menyambar hati Intan. Seketika ia menghentikan
bicaranya. Ia melihat sorotan mata kesal di setiap bola mata teman-temannya.
“Siapa
kamu! Kamu ini bukan anggota kelas kami! Kamu sama sekali tidak punyak hak
untuk ikut merancang baju kami! Baru sehari saja sudah belagu! Dasar mulut
besar!” kata Elia sangat marah.
“Kamu
juga seenaknya memotong pendapatku! Kamu pikir kamu itu siapa!” ucap Auri
sambil mendorong Intan sampai terjatuh.
“Sudah!
Sudah!” kata Aji yang berusaha menghentikan pertikaian sepihak itu.
Intan
berlari menuju tempat duduknya. Ia tak menyangka semua akan seperti ini.
Kawanan kuda perang yang semula hanya melewati jantungnya, kini telah menginjak
dan memporak-porandakannya. Hatinya pilu, angannya layu, bibirnya membisu.
Terlalu bersemangat membuat teman-temannya marah dan kesal. Apalagi sifatnya
yang cenderung memaksakan kehendak. Kini ia hanya bisa menyesali semuanya.
“Jangan
diambil hati ya perkataan mereka tadi.” tutur lembut Diar sedikit mengejutkan
Intan.
Diar
segera duduk di sebelah Intan. Ia tampak ramah dan senyumnya membuat Intan
merasa lebih tenang. Lalu ia memperkenalkan diri kepada Intan. Seketika senyum
Intan merekah dari bibirnya. Ia sangat senang karena masih ada yang mau
mendekatinya. Diar pun meminta Intan untuk menceritakan segala kegelisahannya.
“Sabar
ya, orang sabar itu disayang Tuhan.” kata Diar setelah mendengar curahan hati
Intan.
Tangan
Diar lalu mengelus bahu Intan dengan lembut. Ia juga merangkul Intan. Mereka
berdua terlihat seperti sahabat karib. Kamudian Diar mengajak Intan pergi ke
kantin. Diar tersenyum. Namun, Intan tak menyadari senyuman Diar yang berbeda.
Saat berjalan ke kantin, Intan kebingungan melihat sikap siswa-siswa lain.
Mereka semua menertawakan Intan. Ketika ia melewati Ruang BK, seorang guru
benama Bu Endah Purnami memanggilnya.
“Ada
apa, Bu?” tanya Intan penasaran.
“Kertas
apa yang menempel di punggungmu?” jawab Bu Endah yang justru balik bertanya.
Ternyata
di punggung Intan terdapat selembar kertas bertuliskan
“AKU
MASIH LIAR!
MAKLUM
BARU KELUAR DARI RANGUNAN!”
Ia
sama sekali tidak menyangka. Dilihatnya Diar yang berdiri di sebelahnya.
Tetapi, ia tak ingin berburuk sangka. Bu Endah pun meminta Intan dan seluruh
siswa kelas X MIPA 1 berkumpul di Ruang BK.
“Siapa
yang menempelkan kertas ini di punggung Intan?” tanya Bu Endah seraya
menunjukkan kertas tersebut.
“Saya,
Bu.” jawab Diar pasti.
“Kami
semua yang menyuruh Diar, Bu!” kata Elia mewakili teman-temannya.
“Apa
maksud kalian? Apa salahku pada kalian? Mengapa kalian memperlakukanku seperti
ini? Dan kamu Diar, aku sudah menganggapmu seperti sahabatku, tapi mengapa kamu
melakukan semua ini?” ucap Intan terisak.
“Kami
tidak menginginkan kehadiranmu di kelas kami. Dasar anak belagu!” kata Elia
sambil menunjuk Intan.
“Kalian
tidak boleh bersikap seperti ini. Intan adalah teman baru kalian. Seharusnya
kalian bersikap baik padanya.” kata Bu Endah mencoba menasihati.
Intan
mulai meneteskan air mata. Sedangkan teman-temannya tampak sinis dan tidak
peduli. Sementara itu, tampak sepasang mata yang mengamati suasana ruang BK
dari balik tirai jendela. Sepasang mata yang terus memandang Intan.
* The
End *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar