|
Pada
suatu hari, Pak Adil diminta keluarganya untuk berhenti bekerja. Mereka ingin
Pak Adil tinggal di rumah atau ikut dengan anak-anaknya. Sementara itu, Pak
Adil ingin tetap bekerja dia bersikeras untuk terus melakukan pekerjaan ini.
Baginya, hidup tanpa melakukan pekerjaans angatlah menakutkan. Harga dirinya sebagai
lelaki, suami, ayah, dan kakek seolah tercampakkan.
Pintumasihtertutup.
Dia merasa yakin kalau sekarang sudah saatnya pintu dibuka.
Tapi
aneh, kok, pintu masih tertutup? Kemana Pak Soleh, satpam yang biasa membuka pintu?
Pak Adil memberi salam. Suaranya dikeraskan. Berulang-ulang, tak ada yang
menjawab salamnya. “Kenapa, Pak Adil?” ada suara orang di belakangnya. Pak
Adil menoleh. “Pintunya masih ditutup, Dik,” jawabnya. “Saya tidak tahu,
Dik.” Bahkan, beberapa lagi muncul di ujung gang. Pintu digedor-gedor.Matahari
mulai menaik. Satpam di menara ronda terbangun. Dia mengucek-ucek matanya, melihat
keluar pagar.
“Hey, hey! Ada apa ini!” teriakSatpam di
menara ronda.
Lho, bukan Pak
Soleh? Kemana dia? Pak Adil merasa heran.Kepala terasa pusing lagi.
“Cepet buka pintu!”
teriak warga.
Satpam
pun bergegas turun dari menara. Dia menuju pintu tembus. Kini dia berdiri di
seberang Pak Adil dan para warga. Hanya dibatasi oleh pintu besi berjeruji.
Dia berkacak pinggang. Matanya yang masih belekan dibuka lebar-lebar, membelalak.
Pak
Adil setuju dengan saran warga untuk memberikan sebungkus sarapan untuk satpam
baru tersebut. Tangannya dengan cepat merogoh kotak besar di jok belakang sepedanya.
Dia mengambil nasibungkus, telur dadar,dan sambel kentang dan menambahkannya
bakwan. Lalu memasukkan nya ke plastic hitam.Dadanya terasa berdebar kencang.
Hatinya
merasa tak enak. Bungkusan berisi sarapan itu disodorkan ke warga di
depannya. Secara estafet paket sarapan itu sampai di depan pintu tembus.Satpam
tersebut menolaknya mentah-mentah. Ia merasa harga dirinya di rendahkan dengan
sebungkus sarapan tersebut.
Warga
semakin heboh mendengar pernyataan dari satpam baru tersebut bahwa pihak pertokoan
mengeluarkan keputusan sejak hari ini pintu tidak lagi dibuka, karena banyak
dagangan yang hilang dan maling tersebut dicirikan dari kampung tempat Pak
Adil tinggal tersebut. Mereka tidak percaya bahwa maling yang mencuri dagangan
pertokoan berasal dari kampungnya. Mereka merangsek terus ke depan dan menggedor-gedor
lagi pintu besi, semakin keras, dan semakin keras. Anak tangga yang sempit terasa
pengap dan sesak. Dorong-dorongan, sikut-sikutan.
Tubuh
Pak Adil pun tersenggol. Dia oleng. Sepedanya terlepas. Tubuhnya jumpalitan,
bersenggolan dengan batang sepeda. Akhirnya sepeda dan tubuh Pak Adil tersangkut-paut,
mencebur keselokan!
Pintu
terbuka. Tiga orang satpam mengacung-acungkan pistolnya ke udara. Ketiga satpam
itu berdiri di anak tangga, memanjang ke atas. Mereka tertawa-tawa puas,
melihat orang-orang lintang pukang. Mereka memainkan pistolnya. Ujung
larasnya yang mengepul, mereka tiup dengan lagak koboi kesiangan.
Terdengar suara
keciprak air.
Pak
Adil sedang menggerakkan sepedanya di selokan. Ketiga satpam itu mencari-cari
asal suara. Mata mereka berubah merah menyala, saat melihat Pak Adil berkubang
lumpur di selokan.Mereka menganggap bahwa Pak Adil lah provokatornya, dengan menyogok
salah satusat pam tersebut dengan sebungkus sarapan. Tanpa ada yang
mengomando, mereka melompat keselokan dan menghajar Pak Adil hingga pingsan.
**
Ikhlas
danSiti Fatimah menuntun ibu mereka keruang gawat darurat. Air mata wanita tua
itu masih saja mengalir. Mereka hanya bisa menatap orang yang mereka cintai dari
kejauhan. Tubuhnya terbujur tak berdaya. Selang infuse menyelusup ke kedua lubang
hidungnya. Denyut jantungnya terbaca di layar monitor; naik dan turun dengan lemah.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar